Baca lebih lanjut
Kamis, Januari 19, 2012
Kamis, Januari 12, 2012
Zakat Profesi
Dasar Hukum
Firman Allah SWT: artinya : " dan pada harta-harta mereka ada hak untuk oramng miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bagian " (QS. Adz Dzariyat:19)
Firman Allah SWT: Arinya : " Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik." (QS Al Baqarah 267)
Hadist Nabi SAW, yang artinya : Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu (HR. AL Bazar dan Baehaqi)
Hasil Profesi
Hasil profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa salaf(generasi terdahulu), oleh karenanya bentuk kasab ini tidak banyak dibahas, khusunya yang berkaitan dengan "zakat". Lain halnya dengan bentuk kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan dan perniagaan, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail. Meskipun demikian bukan berarti harta yang didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat, sebab zakat pada hakekatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantra mereka (sesuai dengan ketentuan syara'). Dengan demikian apabila seseorang dengan hasil profesinya ia menjadi kaya, maka wajib atas kekayaannya itu zakat, akan tetapi jika hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup (dan keluarganya), maka ia menjadi mustahiq (penerima zakat). Sedang jika hasilnya hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, atau lebih sedikit maka baginya tidak wajib zakat. Kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan pokok, yakni, papan, sandang, pangan dan biaya yang diperlukan untuk menjalankan profesinya. Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Dengan demikian hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk menunaikan zakat.
Contoh:
Akbar adalah seorang karyawan swasta yang berdomisili di kota Bogor, memiliki seorang istri dan 2 orang anak. Penghasilan bersih perbulan Rp. 1.500.000,-. Bila kebutuhan pokok keluarga tersebut kurang lebih Rp.625.000 per bulan maka kelebihan dari penghasilannya = (1.500.000 - 625.000) = Rp. 975.000 perbulan. Apabila saldo rata-rata perbulan 975.000 maka jumlah kekayaan yang dapat dikumpulkan dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.00 (lebih dari nishab). Dengan demikian Akbar berkewajiban membayar zakat sebesar 2.5% dari saldo. Dalam hal ini zakat dapat dibayarkan setiap bulan sebesar 2.5% dari saldo bulanan atau 2.5 % dari saldo tahunan.
sumber : Al Faridy, Hasan Rifa'i, Drs.,Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republika, 1996
Firman Allah SWT: artinya : " dan pada harta-harta mereka ada hak untuk oramng miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bagian " (QS. Adz Dzariyat:19)
Firman Allah SWT: Arinya : " Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik." (QS Al Baqarah 267)
Hadist Nabi SAW, yang artinya : Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu (HR. AL Bazar dan Baehaqi)
Hasil Profesi
Hasil profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa salaf(generasi terdahulu), oleh karenanya bentuk kasab ini tidak banyak dibahas, khusunya yang berkaitan dengan "zakat". Lain halnya dengan bentuk kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan dan perniagaan, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail. Meskipun demikian bukan berarti harta yang didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat, sebab zakat pada hakekatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantra mereka (sesuai dengan ketentuan syara'). Dengan demikian apabila seseorang dengan hasil profesinya ia menjadi kaya, maka wajib atas kekayaannya itu zakat, akan tetapi jika hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup (dan keluarganya), maka ia menjadi mustahiq (penerima zakat). Sedang jika hasilnya hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, atau lebih sedikit maka baginya tidak wajib zakat. Kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan pokok, yakni, papan, sandang, pangan dan biaya yang diperlukan untuk menjalankan profesinya. Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Dengan demikian hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk menunaikan zakat.
Contoh:
Akbar adalah seorang karyawan swasta yang berdomisili di kota Bogor, memiliki seorang istri dan 2 orang anak. Penghasilan bersih perbulan Rp. 1.500.000,-. Bila kebutuhan pokok keluarga tersebut kurang lebih Rp.625.000 per bulan maka kelebihan dari penghasilannya = (1.500.000 - 625.000) = Rp. 975.000 perbulan. Apabila saldo rata-rata perbulan 975.000 maka jumlah kekayaan yang dapat dikumpulkan dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.00 (lebih dari nishab). Dengan demikian Akbar berkewajiban membayar zakat sebesar 2.5% dari saldo. Dalam hal ini zakat dapat dibayarkan setiap bulan sebesar 2.5% dari saldo bulanan atau 2.5 % dari saldo tahunan.
sumber : Al Faridy, Hasan Rifa'i, Drs.,Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republika, 1996
Dasar Hukum
Firman Allah SWT: artinya : " dan pada harta-harta mereka ada hak untuk oramng miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bagian " (QS. Adz Dzariyat:19)
Firman Allah SWT: Arinya : " Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik." (QS Al Baqarah 267)
Hadist Nabi SAW, yang artinya : Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu (HR. AL Bazar dan Baehaqi)
Hasil Profesi
Hasil profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa salaf(generasi terdahulu), oleh karenanya bentuk kasab ini tidak banyak dibahas, khusunya yang berkaitan dengan "zakat". Lain halnya dengan bentuk kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan dan perniagaan, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail. Meskipun demikian bukan berarti harta yang didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat, sebab zakat pada hakekatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantra mereka (sesuai dengan ketentuan syara'). Dengan demikian apabila seseorang dengan hasil profesinya ia menjadi kaya, maka wajib atas kekayaannya itu zakat, akan tetapi jika hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup (dan keluarganya), maka ia menjadi mustahiq (penerima zakat). Sedang jika hasilnya hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, atau lebih sedikit maka baginya tidak wajib zakat. Kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan pokok, yakni, papan, sandang, pangan dan biaya yang diperlukan untuk menjalankan profesinya. Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Dengan demikian hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk menunaikan zakat.
Contoh:
Akbar adalah seorang karyawan swasta yang berdomisili di kota Bogor, memiliki seorang istri dan 2 orang anak. Penghasilan bersih perbulan Rp. 1.500.000,-. Bila kebutuhan pokok keluarga tersebut kurang lebih Rp.625.000 per bulan maka kelebihan dari penghasilannya = (1.500.000 - 625.000) = Rp. 975.000 perbulan. Apabila saldo rata-rata perbulan 975.000 maka jumlah kekayaan yang dapat dikumpulkan dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.00 (lebih dari nishab). Dengan demikian Akbar berkewajiban membayar zakat sebesar 2.5% dari saldo. Dalam hal ini zakat dapat dibayarkan setiap bulan sebesar 2.5% dari saldo bulanan atau 2.5 % dari saldo tahunan.
sumber : Al Faridy, Hasan Rifa'i, Drs.,Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republika, 1996
Baca lebih lanjut
Firman Allah SWT: artinya : " dan pada harta-harta mereka ada hak untuk oramng miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bagian " (QS. Adz Dzariyat:19)
Firman Allah SWT: Arinya : " Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik." (QS Al Baqarah 267)
Hadist Nabi SAW, yang artinya : Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu (HR. AL Bazar dan Baehaqi)
Hasil Profesi
Hasil profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa salaf(generasi terdahulu), oleh karenanya bentuk kasab ini tidak banyak dibahas, khusunya yang berkaitan dengan "zakat". Lain halnya dengan bentuk kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan dan perniagaan, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail. Meskipun demikian bukan berarti harta yang didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat, sebab zakat pada hakekatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantra mereka (sesuai dengan ketentuan syara'). Dengan demikian apabila seseorang dengan hasil profesinya ia menjadi kaya, maka wajib atas kekayaannya itu zakat, akan tetapi jika hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup (dan keluarganya), maka ia menjadi mustahiq (penerima zakat). Sedang jika hasilnya hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, atau lebih sedikit maka baginya tidak wajib zakat. Kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan pokok, yakni, papan, sandang, pangan dan biaya yang diperlukan untuk menjalankan profesinya. Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Dengan demikian hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk menunaikan zakat.
Contoh:
Akbar adalah seorang karyawan swasta yang berdomisili di kota Bogor, memiliki seorang istri dan 2 orang anak. Penghasilan bersih perbulan Rp. 1.500.000,-. Bila kebutuhan pokok keluarga tersebut kurang lebih Rp.625.000 per bulan maka kelebihan dari penghasilannya = (1.500.000 - 625.000) = Rp. 975.000 perbulan. Apabila saldo rata-rata perbulan 975.000 maka jumlah kekayaan yang dapat dikumpulkan dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.00 (lebih dari nishab). Dengan demikian Akbar berkewajiban membayar zakat sebesar 2.5% dari saldo. Dalam hal ini zakat dapat dibayarkan setiap bulan sebesar 2.5% dari saldo bulanan atau 2.5 % dari saldo tahunan.
sumber : Al Faridy, Hasan Rifa'i, Drs.,Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republika, 1996
Jual Beli dengan Cara Kredit
Oleh: DR. Setiawan Budi Utomo, Lc
Jual Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. (Syarah Majalah al-Ahkam, no 157, vol III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah, Fak Syari’ah, Kuwait University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul ‘Arab, vol VII/377-378)
Jumhur ulama membolehkan praktik jual beli kredit (bai’ bit Taqsith) tanpa bunga, diantaranya adalah Imam Al-Khathabi dalam Syarh Mukhtashar Khalil (IV/375), Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa (XXIX/498-500), Imam Syaukani dalam Nailul Authar (V/249-250), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dengan menukil pendapat Thawus, Hakam dan Hammad yang membolehkannya (IV/259).
Demikian pula ulama mutakhirin seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam majalah al-Iqtishad al-Islami, I/42 no. 11 th. 1402H dimana beliau mengatakan: “Saya pernah ditanya tentang hukum jual-beli sekarung gula pasir dan sebagainya, yang dicicil sampai pada waktu yang telah ditentukan dengan ketentuan harga yang lebih tinggi daripada kontan. Maka saya jawab, mu’amalah ini sah. Sebab jual-beli kontan berbeda dengan jual-beli kredit, sementara seluruh umat Islam mengamalkan mu’amalah ini.
Jadi, mereka telah sepakat atas bolehnya jual-beli ini.” Syekh Abdul Wahhab Khallaf seperti dimuat dalam majalah Liwa’ul Islam, no. 11 hlm. 122 juga memandangnya halal.
Fatwa Muktamar pertama al-Mashraf al-Islami di Dubai yang dihadiri oleh 59 ulama internasional, fatwa Direktorat Jenderal Riset, Dakwah dan Ifta’ serta Komisi Fatwa Kementrian Waqaf dan Urusan Agama Islam Kuwait semua sepakat bahwa tidak ada larangan bagi penjual menentukan harga secara kredit lebih tinggi daipada ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja mengambil keuntungan dari penjualan secara kredit dengan ketentuan dan perhitungan yang jelas. (Majalah asy-Syari’ah Kuwait, Rajab 1414, hlm.264, Majalah al-Iqtishad al-Islami, I/3 th 1402, hlm. 35, Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, no. 6 Rabi’ Tsani, 1403H, hlm.270)
Dalil syari’ah dalam membolehkan akad jual-beli kredit (bai’ bit taqsith) diambil dari dalil-dalil al-Qur’an yang menghalalkan praktik bai’ (jual-beli) secara umum, diantaranya firman Allah: “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah:275) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (al-Baqarah:282)
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, ‘bisnis penipuan’.
3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr, ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi saw.
Menganai pertanyaan tentang jual-beli mobil secara kredit yang banyak dilakukan orang dengan bunga tertentu, fatwa direktorat jenderal riset, dakwah dan ifta’ menjelaskan bahwa jika dalam jual-beli kredit terdapat kenaikan harga (bunga) lantaran terlambatnya pelunasan dari pihak pembeli, maka menurut ijma’ ulama tidak sah, karena di dalamnya terkandung unsur riba jahiliyah yang diharamkan Islam. (Majalah al-Buhuts al-islamiyah, no. 6 Th. 1403, hlm 270)
Kalaupun terpaksa harus membeli secara kredit dari penjual barang yang memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli realitasnya harus yakin mampu mencicil dan melunasinya tepat waktu tanpa harus terjerat pembayaran bunga tunggakan, agar terhindar dari laknat rasulullah karena membayar uang riba.
Kartu kredit pada hakekatnya sebagai sarana mempermudah proses jual-beli yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang sangat riskan. Status hukumnya menurut fiqih kontemporer adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan). Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam transaksi jual beli. Oleh karena itu berlaku di sini hukum masalah ‘kafalah’.
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam mu’amalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam mu’amalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (suka rela) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetpi kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah sah saja.
Tetapi jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya.
Tetapi bisnis jasa kartu kredit tersebut boleh selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Disamping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kerdit tertentu. (Lihat, DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161)
Dengan demikian dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga, maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak membayar hutang.
Hal itu berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan prefentif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa: “Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR.Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Wallau A’lam, wa billahit Taufiq wal Hidayah.
Oleh: DR. Setiawan Budi Utomo, Lc
Jual Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. (Syarah Majalah al-Ahkam, no 157, vol III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah, Fak Syari’ah, Kuwait University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul ‘Arab, vol VII/377-378)
Jumhur ulama membolehkan praktik jual beli kredit (bai’ bit Taqsith) tanpa bunga, diantaranya adalah Imam Al-Khathabi dalam Syarh Mukhtashar Khalil (IV/375), Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa (XXIX/498-500), Imam Syaukani dalam Nailul Authar (V/249-250), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dengan menukil pendapat Thawus, Hakam dan Hammad yang membolehkannya (IV/259).
Demikian pula ulama mutakhirin seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam majalah al-Iqtishad al-Islami, I/42 no. 11 th. 1402H dimana beliau mengatakan: “Saya pernah ditanya tentang hukum jual-beli sekarung gula pasir dan sebagainya, yang dicicil sampai pada waktu yang telah ditentukan dengan ketentuan harga yang lebih tinggi daripada kontan. Maka saya jawab, mu’amalah ini sah. Sebab jual-beli kontan berbeda dengan jual-beli kredit, sementara seluruh umat Islam mengamalkan mu’amalah ini.
Jadi, mereka telah sepakat atas bolehnya jual-beli ini.” Syekh Abdul Wahhab Khallaf seperti dimuat dalam majalah Liwa’ul Islam, no. 11 hlm. 122 juga memandangnya halal.
Fatwa Muktamar pertama al-Mashraf al-Islami di Dubai yang dihadiri oleh 59 ulama internasional, fatwa Direktorat Jenderal Riset, Dakwah dan Ifta’ serta Komisi Fatwa Kementrian Waqaf dan Urusan Agama Islam Kuwait semua sepakat bahwa tidak ada larangan bagi penjual menentukan harga secara kredit lebih tinggi daipada ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja mengambil keuntungan dari penjualan secara kredit dengan ketentuan dan perhitungan yang jelas. (Majalah asy-Syari’ah Kuwait, Rajab 1414, hlm.264, Majalah al-Iqtishad al-Islami, I/3 th 1402, hlm. 35, Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, no. 6 Rabi’ Tsani, 1403H, hlm.270)
Dalil syari’ah dalam membolehkan akad jual-beli kredit (bai’ bit taqsith) diambil dari dalil-dalil al-Qur’an yang menghalalkan praktik bai’ (jual-beli) secara umum, diantaranya firman Allah: “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah:275) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (al-Baqarah:282)
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, ‘bisnis penipuan’.
3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr, ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi saw.
Menganai pertanyaan tentang jual-beli mobil secara kredit yang banyak dilakukan orang dengan bunga tertentu, fatwa direktorat jenderal riset, dakwah dan ifta’ menjelaskan bahwa jika dalam jual-beli kredit terdapat kenaikan harga (bunga) lantaran terlambatnya pelunasan dari pihak pembeli, maka menurut ijma’ ulama tidak sah, karena di dalamnya terkandung unsur riba jahiliyah yang diharamkan Islam. (Majalah al-Buhuts al-islamiyah, no. 6 Th. 1403, hlm 270)
Kalaupun terpaksa harus membeli secara kredit dari penjual barang yang memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli realitasnya harus yakin mampu mencicil dan melunasinya tepat waktu tanpa harus terjerat pembayaran bunga tunggakan, agar terhindar dari laknat rasulullah karena membayar uang riba.
Kartu kredit pada hakekatnya sebagai sarana mempermudah proses jual-beli yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang sangat riskan. Status hukumnya menurut fiqih kontemporer adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan). Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam transaksi jual beli. Oleh karena itu berlaku di sini hukum masalah ‘kafalah’.
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam mu’amalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam mu’amalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (suka rela) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetpi kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah sah saja.
Tetapi jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya.
Tetapi bisnis jasa kartu kredit tersebut boleh selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Disamping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kerdit tertentu. (Lihat, DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161)
Dengan demikian dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga, maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak membayar hutang.
Hal itu berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan prefentif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa: “Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR.Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Wallau A’lam, wa billahit Taufiq wal Hidayah.
Baca lebih lanjut
Minggu, Januari 01, 2012
Metode Penentuan Awal Bulan Qomariyah
HISAB - RUKYAT SEBAGAI METODE PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH
(Kajian Atas Metode Penetapan Awal Puasa dan Hari Raya di Indonesia)
Oleh : Syaugi Mubarak Seff ∗
Penentuan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhizzah adalah merupakan masalah penting karena berkaitan dengan ibadah kepada Allah Swt, yaitu ibadah puasa1 dan sholat hari raya (idul Fitri dan Idul Adha),2 di mana penetapannya didasarkan pada al-Qur’ãn dan al-Hadits.
Di dalam al-Qur’an surah Yunus (10);5, Allah memberikan petunjuk tentang peran matahari dan bulan sebagai sarana untuk mengetahui perhitungan waktu. Bunyi ayat tersebut sebagai berikut :
Artinya : “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah (tempat-tempat bagi perjalanan bulan itu) supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan baik. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaraNya) kepada orang-orang yang mengetahui”.
Sedangkan dalam hadits secara spesifik ditemukan pedoman dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan, di antaranya hadits riwayat Imam Bukhari yang berbunyi :
Artinya : “Berpuasalah kamu karena melihat bulan (hilãl) dan berbukalah kamu karena melihatnya. Jika terhalang penglihatanmu oleh awan, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban 30 hari”.
Acuan dalam penentuan awal bulan Qomariyah adalah bulan karena perhitungannya didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi.
Perhitungan tahun Hijriyah ini berbeda dengan perhitungan Masehi yang didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari. Satu kali peredaran bulan mengelilingi matahari rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 2,5 detik, sehingga dalam dua belas bulan rata-rata 354 hari 8 jam 48 menit 30 detik.
Dalam peredaran bulan mengelilingi bumi, ada masa di mana bulan berada pada arah yang sama dengan matahari yang disebut dengan fase bulan baru (ijtima’), yang dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan penerapannya ditentukan dengan rukyat yaitu melihat bulan berbentuk sabit pada saat bulan baru muncul. Umumnya bulan yang berbentuk sabitlah yang dirukyah dengan cahaya sangat redup. Apabila pengamatan dilakukan pada sekitar saat matahari terbenam, rukyah akan sangat mungkin terganggu oleh cahaya remang petang.Adanya kemungkinan posisi hilãl yang tidak dapat dirukyat memunculkan pilihan kedua yaitu menerima istikmal (mencukupkan Sya’ban menjadi 30 hari). Hilãl yang tidak mungkin dirukyat karena
tertutup awan atau posisinya tidak berada pada imkān ar- ru’yah, maka metode yang ditempuh ialah dengan hisab. Oleh karenanya dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah memunculkan metode rukyah dan hisab sebagai metode penetapan awal bulan Qomariyah.
Selanjutnya dari metode yang berbeda juga melahirkan perbedaan dalam penetapan awal Bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya perbedaan juga terjadi secara internal antara masing-masing metode.
METODE HISAB-RUKYAT MENURUT HUKUM ISLAM
1. Metode Rukyat
Pada masa Rasulullah Saw dan beberapa generasi sesudah beliau, penetapan awal bulan Qamariyah khususnya awal Ramadhan selalu didasarkan pada metode rukyat (ru’yatul hilãl), yaitu dengan melihat bulan sabit dengan mata telanjang.5 Hal ini dapat dilihat dari beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku dengar Rasulullah Saw bersabda : “Apabila kamu melihat dia (tanggal 1 Ramadhan), maka hendaklah kamu berpuasa; dan apabila kamu melihat dia, maka hendaklah kamu berbuka, tetapi manakala dimendungkan (hilãl) itu atas kamu, maka hendaklah kamu tetapkan untuknya”.
Hadits lain yang juga popular adalah : “summû li ru’yatihi wa aftharû li ru’yatihi” (berpuasalah kamu karena melihat hilãl dan berbukalah kamu karena melihatnya). Menurut al-Kahlani, sebagaimana dikutip Summa, hadits ini jelas-jelas menunjukkan atas kewajiban puasa Ramadhan
karena melihat hilãl (bulan sabit) Ramadhan dan berbuka puasa juga karena
melihat hilãl.6
Ru’yatul hilãl ini adalah merupakan maksud lain dari kata syuhudussyahri
(meyakinkan bulan) sebagaimana pendapat para ulama seperti Musthafa al-Maraghi, Wahbah az-Zuhaili dan Sayyid Sabiq. Menurut mereka ru’yatul hilãl dapat langsung dengan mata telanjang, atau dengan bantuan alat peneropong.
Untuk memahami hadits-hadits yang terdapat kata ru’yah tidak hanya dengan melihat makna teks tersebut secara literal, tetapi juga dengan melihat setting sosial ketika hadits itu muncul (asbãb al-wurûd). Secara tekstual, arti ru’yah menurut Ibnu Sayyidah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Manzhur dalam Lisãn al-Arabi adalah :”melihat dengan mata atau hati” (an-nazharu bil ‘ain wa al-qalb). Di samping itu juga ada yang berpendapat bahwa rukyat tidak semata-mata melihat dengan mata tetapi dapat juga berarti melihat dengan ilmu (rasio) melalui hasil perhitungan ilmu hisab.
Dalam konteks historitas, pada kasus hadits rukyat terlihat adanya upaya Rasulullah Saw untuk memahami bahasa masyarakat Madinah. Seperti dalam hadits : “idza raitum al-hilãl” adalah didahului munculnya pertanyaan yang ditujukan kepada Rasulullah Saw berkaitan dengan perselisihan antara dua kelompok dalam menentukan bulan, di mana kelompok pertama mengangap bulan Sya’ban dan kelompok yang lain mengangap bulan Ramadhan. Respons yang diberikan Rasulullah Saw adalah : “idza raitum al-hilãl”.
Persoalan yang muncul pada hadits di atas bukan terletak pada rukyat tetapi lebih mengarah pada proses penentuan awal bulan Qamariyah.
Dalam setting masyarakat Madinah di mana hadits-hadits tentang rukyat muncul di Madinah,10 dan rukyat dalam pengertian melihat dengan mata telanjang cocok dengan masyarakat Madinah. Tetapi dalam setting masyarakat Mekkah, maka rukyat dengan pengertian melihat dengan mata
telanjang tidak cocok dengan kondisi masyarakat Mekkah yang sudah mengenal ilmu pengetahuan antara lain dalam bidang astronomi.
Dengan menggunakan teori al-ibratu bi umumi al-lafzhi la bi hususi as-sababi dan al-ibratu bi hususi as-sababi la bi umumi al-lafdzi, maka didapatkan dua macam pengertian rukyat. Dengan menggunakan teori pertama, rukyat tidak hanya dipahami dalam konteks masyarakat Madinah
tetapi juga dalam konteks masyarakat Mekkah, sehingga rukyat tidak semata-mata melihat engan mata telanjang. Sedangkan dengan teori kedua menjadikan makna rukyat menurut setting masyarakat Madinah an sich, sehingga rukyat berarti melihat dengan mata telanjang.
Ru’yatul hilãl adalah metode praktis untuk membuktikan apakah bulan sabit baru (hilãl) terlihat atau tidak. Jika dalam astronomi objek langit yang biasa dirukyat dianjurkan di atas sudut 15 derajat, maka ru’yatul hilãldilakukan saat irtifa’ bulan masih sangat rendah, dan dilakukan setiap
tanggal 29 Sya’ban atau Ramadhan tanpa melihat sudah ijtima’ atau belum.13
Kriteria imkān ar- ru’yah setiap negara-negara Islam berbeda-beda.
Khusus di Indonesia, kriteria yang digunakan dan disepakati adalah criteria yang berdasarkan kesepakatan MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang melahirkan tiga kesepakatan, yaitu : (1) tinggi bulan minimum 2 derajat; (2) jarak bulanmatahari minimum 3 derajat; dan (3) umur bulan saat maghrib minimum 8 jam.
Di samping aspek perbedaan kriteria imkãnur ru’yat yang bisa menyebabkan perbedaan, maka aspek lain yang menjadi sumber perbedaan adalah kesaksian, keberlakuan hasil rukyat dalam wilayah geografis (mathla’).
2. Metode Hisab
Hisab atau ilmu hisab merupakan padanan dari ilmu falak yakni salah satu cabang ilmu astronomi terapan yang membahas penentuan waktu ibadah dengan cara menghitung posisi matahari dan bulan terhadap bumi.
Penentuan awal bulan dan awal tahun dengan menggunakan ilmu hisab adalah sebagai alternatif dalam penentuan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah.
Ada dua metode hisab yang lazim digunakan, yaitu hisab urfi dan hisab hakiki. Hisab urfi berasal dari penyimpulan rata-rata lamanya umur bulan Qamariyah. Metode ini menentukan umur bulan-bulan ganjil 30 hari dan umur-umur bulan genap 29 hari. Sedangkan hisab hakiki, menentukan
bahwa bulan baru dipastikan masuk bila pada waktu maghrib hilãldiperhitungkan berada di atas ufuk.
Penggunaan hilãl sebagai patokan untuk setiap datangnya awal bulan, didasarkan pada Q.S. al-Baqaroh (2);189, yang berbunyi :
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji………
Syekh Muhammad Rasyid Ridho dalam tafsirnya al-manãr,
sebagaimana dikutip Syah, menjelaskan asbabun nuzul ayat di atas sebagai
berikut:
Terjemahannya : Dan dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dan Ibnu Assakir dari jalan As-Sudiy ash Shoghier dari al-Kalby dari Abu Sholih dari Ibnu Abbas bahwa sahabat Muadz binn Jabal dan
Tsa’labah bin Ghoniemah bertanya : “Wahai Rasulullah ada apa dengan hilãl itu, ia muncul (pertama kali) tipis sekali seperti garis lalu membesar hingga besar, separuhnya dan bundar kemudian tidak berhenti (sampai di situ) ia menyusut dan menepis hingga kembali kepada bentuk semula, (mengapa) tidak dalam satu bentuk saja?”.
Lalu turunlah ayat ini. (Syekh Muhammad Rasyid Ridho) menerangkan):”Sungguh telah masyhur sebab turunnya ayat ini karena Ulama Balaghoh menempatkannya dalam permasalahan ada dan tidak adanya kesesuaian antara pertanyaan dan jawaban.
Mereka berpendapat bahwa yang diinginkan oleh penanya adalah penjelasan sebab-sebab perubahan bentuk yang biasa terjadi (pada hilãl), namun jawaban hadir tiada lain menerangkan hikmahnya bukanlah menjelaskan illatnya (peristiwa astronomis pen.), karena hal inilah yang menjadi objek agama. Cocok sekali apa yang disebut dalam ilmu Balaghoh dengan uslubul hakiem atau uslubul al-hakiem.
Secara astronomis hilãl (crescent) adalah penampakan bulan paling kecil yang menghadap ke bumi. Keadaan tersebut dapat dicapai beberapa saat di sekitar ijtima’ karena pada saat itu sudut pandang matahari dan bulan paling kecil.
T.Jamaluddin mendefinisikan hilãl sebagai berikut :
Hilal adalah bulan Tsabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemrosesan citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan yang mengarah ke matahari.
Dari beberapa pengertian di atas tentang hilãl, maka hakekat dari awal bulan baru atau awal bulan Qamariyah adalah wujûd al-hilãl yang dapat diketahui dengan rukyah dan hisab atau keduanya sekaligus. Oleh karenanya rukyah dan atau hisab itulah yang menjadi dasar untuk
menetapkan awal bulan Qamariyah.
Berbagai kriteria untuk menentukan masuknya bulan baru Qamariyah mulai berkembang, dan perkembangannya ini juga melahirkan perbedaan internal dalam metode hisab, seperti perbedaan tentang ijtima’(konjungsi) di mana ada yang berpandangan dengan sistem ijtima’ qabla alghurūb
dan ada yang memakai dengan sistem ijtima’ qabla al-fajr. Begitu juga perbedaan tentang ketinggian hilãl yang dikaitkan dengan umur bulan,yakni tenggang waktu antara terbenam matahari dan saat terjadinya ijtima’.20 Bahkan konsep wujûd al-hilãl mengalami perkembangan yang semula pengertian wujûd al-hilãl adalah matahari terbenam lebih dahulu dari pada bulan dengan standart ukuran yang dijadikan pembatas adalah ufuk mar’i. Kemudian muncul pengertian bahwa wujûd al-hilãl itu apabila pada saat matahari terbenam, bulan berada pada posisi di atas ufuk hakiki.
METODE PENETAPAN AWAL PUASA DAN HARI RAYA DI
INDONESIA
1. Menurut Ormas Islam
1.1. Nahdhatul Ulama (NU)
Dalam menentukan awal bulan Qamariyah yang ada hubungannya dengan ibadah, Nahdhatul Ulama berpegang pada beberapa hadits21 yang berhubungan dengan rukyat. Di samping hadits, Nahdhatul Ulama juga berpegang pada pendapat para ulama yaitu para Imam Mazhab selain
Hambali, di mana imam mazhab tersebut menyebutkan bahwa awal Ramadhan dan Syawwal ditetapkan berdasarkan ru’yah al-hilãl dan dengan istikmal.
Pendapat ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Imam Nawawi dalam Kitabnya al-majmu’ syarh al-Muhazzab, Ibn Hajr dalam Kitabnya Hawasiyy Tuhfah Muhtaj, dan Syekh Ramli dengan Kitabnya Nihayah al-Muhtaj. Penetapan ini diambil berdasarkan alasan-alasan syar’i
yang dipandang kuat untuk dijadikan pedoman peribadatan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Untuk melacak metode yang digunakan Nahdlatul Ulama dalam menentukan awal bulan Qamariyah, maka ada tiga fatwa yang berkaitan dengan metode rukyat yang digunakan organisasi ini. Fatwa pertama tahun 1954 sebagaimana dikutip Hooker berisi dua pernyataan; (a) menentukan waktu berdasarkan hisab tidak digunakan pada masa Nabi dan KhulafaurRasyidin; (2) tidak dibolehkan membuat pernyataan publik untuk menentukan awal puasa berdasarkan hisab tanpa adanya pengumuman dari Menteri Agama. Hal ini dilakukan “untuk mencegah keributan di kalangan umat Islam. Fatwa kedua tahun 1983, isinya juga berisi tidak ada kewajiban untuk menerima penentuan puasa dengan cara hisab.
Adapun fatwa ketiga yang dibuat pada tahun 1987 isinya lebih terperinci dan merujuk pada hasil fatwa tahun 1983. Berikut adalah ringkasan dari fatwa tersebut sebagaimana diringkas oleh Hooker
Melihat bulan (ru’yah) sebagai dasar untuk menetapkan tanggal puasa telah dilakukan oleh Nabi Muhammad dan Khulafa al-Rasyidin dan dilakukan oleh empat mazhab. Sementara itu penghitungan berdasarkan ilmu falak tidak pernah diajarkan oleh Nabi dan kesahihannya ditentang para ulama. Pernyataan public tentang penanggalan puasa berdasarkan penghitungan ilmu falak oleh hakim atau gubernur tidak ditegaskan oleh keempat mazhab.NU adalah organisasi yang mengikuti jalan dan ajaran Nabi, para sahbat dan ulama. Musyawarah Nasional Alim Ulama (18-21Desember 1983) telah membuat sebuah keputusan untuk mengikuti
metode melihat bulan guna menetapkan awal Ramadhan dan Idul Fitri yang disahkan oleh Muktamar NU ke 27 (1984). Dan agar ada keseragaman di kalangan warga NU, dan dengan tujuan termasuk menetapkan Idul Adha, Musyawarah Nasional Alim-Ulama pada 15-16 Nopember 1987 memutuskan sebagai berikut:
Penanggalan yang diumumkan oleh hakim atau gubernur boleh dikukuhkan jika didasarkan pada metode melihat Bulan. NU telah lama mengikuti pendapat para ulama bahwa satu penanggalan yang pasti harus ditetapkan untuk Indonesia dengan mengabaikan
perbedaan aspek bulan di seluruh negeri. Melaksanakan ru’yah merupakan kewajiban agama dalam pandangan empat imam mazhab kecuali Hanbali yang mengangapnya bermamfaat saja.
Pelaksanaan ru’yah oleh pemerintah sudah cukup bagi seluruh masyarakat muslim di Indonesia. Komisi Hisab dan Ru’yah dalam NU harus melaksanakan prinsip ru’yah dengan menentukan awal bulan Sya’ban, awal ramadhan dan melakukan ru’yah pada malam 30 Syawal dan 30 Dzulqa’idah kemudian melaporkan penemuannya tentang awal “Dzulhijjah” kepada pemerintah
karena pemerintah sering tidak memberikan pengumuman yang terperinci mengenai tanggal tersebut. Hasilnya harus disebarluaskan NU wilayah dan cabang di seluruh Indonesia.
Semua warga NU di segala lapisan harus diinstruksikan untuk meneliti siaran pemerintah mengenai tanggal tersebut, jika penanggalan itu didasarkan pada ru’yah, harus diikuti, tetapi jika berdasarkan hisab, bisa diabaikan, dan tanggal yang benar adalah hari setelah disebarluaskannya pengumuman tersebut. Pendekatan ini sesuai dengan keputusan NU sebelumnya dan UUD 1945 (Pasal 29 [2]).
Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah didasarkan pada ru’yatul hilãl dan istikmal. Meskipun hisab tidak pernah dipraktekkan pada pada masa Nabi Muhammad Saw dan Khulafaur-Rasyidin, tetapi hisab yang dilakukan para ahlinya boleh diikuti bagi yang mempercayai perhitungannya.
Rukyah yang dijadikan dasar adalah hasil rukyah di Indonesia dan berlaku seluruh Indonesia (wilãyatul hukmi), sehingga jika di salah satu bagian dari wilayah Indonesia dapat disaksikan hilãl, maka ulûl amr dapat menetapkan awal bulan berdasarkan rukyah yang berlaku seluruh
Indonesia. Penetapan yang dilakukan pemerintah dengan tidak memakai rukyah, maka yang dipakai adalah rukyat yang dilakukan masyarakat, khususnya warga NU.
1.1. Muhammadiyah
Dalam menetapkan awal dan akhir bulan qamariyah yang ada pelaksanaannya dengan ibadah, Muhammadiyah mendasarkan pendapatnya pada beberapa ayat al-Qur’ãn dan hadits-hadits Nabi Saw. Ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar adalah Q.S.Yunus(10);5, dan al-Baqaroh (2);185,27
sedang hadits-hadits yang digunakan antara lain yang diriwayatkan imam Bukhari dan Muslim yaitu : lã tashûmû hatta tarawu al-hilãl wa lã tufthirû hatta tarawhu fain ghumma ‘alaikum faqdlurûlah (janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka sehingga kamu melihat hilãl. Bila hilãl tertutup awan maka kamu perkirakanlah (kadarkanalah).
Adapun kata ru’yah sebagaimana yang terdapat dalam hadits riwayat imam Bukhari : “shûmû liru’yatihi wa afthirû liru’yatihi”:
(Puasalah karena melihat tanggal atau berbukalah karena melihat tanggal), dipahami dengan akal, sehingga rukyat bisa berarti melihat dengan mata telanjang, dan bisa juga melihat dengan akal (ilmu pengetahuan).
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan :”as-saumu waal-fithru bi ar-ru’yah wa lã mãni’a bi al-hisãb” (berpuasa dan id Fitrah itu dengan ru’yah dan tidak berhalangan dengan hisab).30 Sejalan dengan itu, menurut Djarnawi Hadikusuma, sebagaimana dikutip dalam Suara
Muhammadiyah, bahwa teks tersebut secara implisit mengakui hisabrukyat.
Menurut Basith Wahid, pada awalnya Muhammadiyah menggunakan ru’yah bil fi’li dalam penentual awal bulan Qamariyah.
Muhammadiyah juga memakai rukyat jika antara hasil rukyat berbeda dengan hasil hisab. Hal ini dapat dilihat pada Himpunan Putusan majelis Tarjih yang berbunyi :”apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu, manakah yang
mu’tabar. Majelis Tarjih memutuskan bahwa rukyalah yang mu’tabar.Keputusan di atas menegaskan bahwa apabila hasil perhitungan hisab menyebutkan hilal belum wujud, atau sudah wujud tetapi tidak dirukyat, maka yang dijadikan pedoman adalah hasil rukyat. Pandangan ini
dipegang oleh Muhammadiyah sampai pada Munas tarjih ke-25 tahun 2000 yang menegaskan bahwa rukyat dan hisab sama kedudukannya sebagai dasar untuk menentukan awal bulan Qamariyah.
Kedudukan hisab sama dengan rukyat diperkuat kembali dalam keputusan Munas tarjih ke-26 tahun 2003 dengan disertai dalil al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw.
Sejalan dengan perkembangan ilmu astronomi, Muhammadiyah mulai menggunakan hisab yang pada awalnya dipelopori oleh KH.Siraj Dahlan. Mula-mula metode hisab yang digunakan untuk menentukan awal bulan Qamariyah dengan sistem ijtima’ qablal ghurûb, yaitu ketika hari itu
terjadi ijtima’(bulan mati), maka waktu sesudah terbenamnya matahari adalah awal bulan meskipun hilãl tidak wujud pada saat matahari tenggelam. Paham ini digunakan hingga tahun 1387 Hijriyyah.
Dalam perkembangan selanjutnya sistem ijtima’ qabla al-ghurûbdisempurnakan dan melahirkan sistem wujûd al-hilãl, yaitu wujud hilãl sebelum matahari terbenam. Maksudnya bila pada hari terjadinya ijtima’matahari terbenam lebih dahulu dari bulan, maka senja itu dan esoknya ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan baru Qamariyah. Tetapi bila bulan terbenam lebih dahulu dari matahari, maka senja itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai malam terakhir dari bulan Qamariyah yang sedang berlangsung.37 Karenanya menurut Basith Wahid, bahwa wujûd alhilãl
mengandung pengertian : (1) sudah terjadi ijtima’ qablal ghurûb, dan (2) posisi bulan sudah positif di atas ufuk mar’i.38
1.3. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Dalam fatwa39 Majelis Ulama Indonesia disebutkan bahwapenentuan awal Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyat dan hisab. Fatwa tersebut tidak hanya berisi tentang metode penetapan awal bulan Qamariyah, tetapi juga tentang anjuran untuk mengikuti keputusan pemerintah dalam penentuan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah.
Fatwa tersebut berisi empat butir, yaitu : (a) penetapan awal bulan dengan metode rukyat dan hisab, (b) pemerintah Indonesia mempunyai otoritas dalam penentuan awal bulan Qamariyah, (c) pelaksanaan ibadah haji berdasarkan hasil rukyat dan hisab di Indonesia, dan (d) kewajiban
umat Islam untuk menaati ketetapan pemerintah tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah.
Dalil yang digunakan dalam fatwa-fatwa tersebut bersumber dari al-Qur’ãn, hadits, kaedah fiqh dan pendapat Imam. Dua dari tiga hadits yang dijadikan sumber fatwa berkaitan dengan metode penetapan awal bulan Qamariyah, sedangkan hadits yang satunya menjadi dasar untuk taat kepada pemerintah. Hadits terakhir yang disebutkan di atas diriwayatkan oleh Bukhari dari Irbadh bin Sariyah yaitu : “alaikum bi al-sam’i wa ‘ath-thô’ati wa in wa lã ‘alaikum ‘abdun habsyiyyun” (Wajib bagi kalaian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi).
Satu-satunya ayat al-Qur’ãn yang dijadikan dalil dalam fatwa MUI tersebut adalah Q.S. an-Nisã(4);59 yang kandungannya bukan tentang konsep hisab-rukyat, tetapi tentang kewajiban taat kepada Allah, RasulNya, dan ulû al-amr. Ayat ini diperkuat lagi dengan kaedah fiqh :”hukmu al
hãkim ilzãmu wa yarfa’u al-khilãf” (Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat).
2. Menurut Pemerintah
Di Indonesia penetapan awal bulan Qamariyah secara resmi dilakukan oleh Menteri Agama dalam sidang Itsbat yang dihadiri berbagai utusan Ormas Islam. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk penetapan awal bulan Qamariyah selain Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah
dilakukan berdasarkan metode hisab. Sedangkan untuk awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode hisab-rukyat.
Peran hasil hisab sangat besar pengaruhnya terhadap laporan rukyat. Jika semua sistem hisab sepakat hilãl masih di bawah ufuk, maka selalu hilãl dilaporkan tidak terlihat, dan begitu juga sebaliknya jika semua system hisab sepakat menyatakan hilãl sudah di atas ufuk, maka hampir selalu hilãl dilaporkan terlihat. Adapun jika ahli hisab tidak sepakat, sebagian menyatakan hilãl di atas ufuk, sebagian lainnya menyatakan hilãl di bawah ufuk, maka seringkali hilãl dilaporkan terlihat.
Proses penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah dimulai dengan data yang ada pada Badan Hisab Rukyat baik di Pusat maupun di Daerah, kemudian Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia melaksanakan rukyat dengan mengundang unsur-unsur dari ulama, ormas Islam, Perguruan Tinggi, Badan Metreologi dan Geofisika (BMG), Instansi terkait, dan para ahli. Hasil rukyat tersebut kemudian dilaporkan kepada Menteri Agama untuk selanjutnya dibawa dan dibahas dalam sidang Itsbat yang dihadiri berbagai unsur ormas Islam. Pada sidang Itsbat itu diputuskan hasil penetapan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah yang selanjutnya Menteri Agama mengumumkan secara terbuka kepada seluruh masyarakat Muslim Indonesia.
Kriteria imkãnur ru’yat yang dipakai oleh pemerintah adalah criteria yang disepakati bersama MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yaitu : (1) tinggi bulan minimum 2 derajat, (2) jarak bulan-matahari minimum 3 derajat, dan (3)
umur bulan saat maghrib minimum 8 jam.
Oleh karenanya, bila ada laporan rukyat tetapi menurut ahli hisab ulan masih di bawah ufuk, maka laporan itu ditolak seperti yang terjadipada penetapan Idul Fitri 1413 H/1993M. Atau meskipun bulan telah di atasufuk, tetapi karena belum memenuhi kriteria imkãnur ru’yah, maka hasilrukyat ditolak, seperti dalam siding Itsbat penetapan Idul Fitri tahun 1418
H/1998 M.
PENUTUP
Penetapan awal puasa dan hari raya dengan menggunakan metode hisab dan rukyat adalah merupakan produk hukum dari para ulama atau mujtahid. Sebagai sebuah produk hukum ia menjadi pedoman bagi umat Islam dalam melaksanakannya berdasarkan keyakinan masing-masing.
Dengan dasar keyakinan yang dimiliki, maka setiap orang mempunyai kebebasan dalam melaksanakan ibadah puasa dan hari raya baik pelaksanaannya itu merujuk pada hasil hisab ataupun rukyat.
Pemerintah dalam hal ini Menteri Agama mempunyai wewenang dalam menetapkan awal puasa dan hari raya, Dan dalam rangka ketertiban pelaksanaan ibadah dengan merujuk pada kemaslahatan ummat berdasarkan pada kaedah fiqh : tasharruf al-imãm manûthun bil maslahãh (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat), maka sewajarnyalah ummat Islam mematuhi keputusan Pemerintah dalam pelaksanaan awal puasa dan hari raya.
HISAB - RUKYAT SEBAGAI METODE PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH
(Kajian Atas Metode Penetapan Awal Puasa dan Hari Raya di Indonesia)
Oleh : Syaugi Mubarak Seff ∗
Penentuan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhizzah adalah merupakan masalah penting karena berkaitan dengan ibadah kepada Allah Swt, yaitu ibadah puasa1 dan sholat hari raya (idul Fitri dan Idul Adha),2 di mana penetapannya didasarkan pada al-Qur’ãn dan al-Hadits.
Di dalam al-Qur’an surah Yunus (10);5, Allah memberikan petunjuk tentang peran matahari dan bulan sebagai sarana untuk mengetahui perhitungan waktu. Bunyi ayat tersebut sebagai berikut :
Artinya : “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah (tempat-tempat bagi perjalanan bulan itu) supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan baik. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaraNya) kepada orang-orang yang mengetahui”.
Sedangkan dalam hadits secara spesifik ditemukan pedoman dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan, di antaranya hadits riwayat Imam Bukhari yang berbunyi :
Artinya : “Berpuasalah kamu karena melihat bulan (hilãl) dan berbukalah kamu karena melihatnya. Jika terhalang penglihatanmu oleh awan, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban 30 hari”.
Acuan dalam penentuan awal bulan Qomariyah adalah bulan karena perhitungannya didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi.
Perhitungan tahun Hijriyah ini berbeda dengan perhitungan Masehi yang didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari. Satu kali peredaran bulan mengelilingi matahari rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 2,5 detik, sehingga dalam dua belas bulan rata-rata 354 hari 8 jam 48 menit 30 detik.
Dalam peredaran bulan mengelilingi bumi, ada masa di mana bulan berada pada arah yang sama dengan matahari yang disebut dengan fase bulan baru (ijtima’), yang dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan penerapannya ditentukan dengan rukyat yaitu melihat bulan berbentuk sabit pada saat bulan baru muncul. Umumnya bulan yang berbentuk sabitlah yang dirukyah dengan cahaya sangat redup. Apabila pengamatan dilakukan pada sekitar saat matahari terbenam, rukyah akan sangat mungkin terganggu oleh cahaya remang petang.Adanya kemungkinan posisi hilãl yang tidak dapat dirukyat memunculkan pilihan kedua yaitu menerima istikmal (mencukupkan Sya’ban menjadi 30 hari). Hilãl yang tidak mungkin dirukyat karena
tertutup awan atau posisinya tidak berada pada imkān ar- ru’yah, maka metode yang ditempuh ialah dengan hisab. Oleh karenanya dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah memunculkan metode rukyah dan hisab sebagai metode penetapan awal bulan Qomariyah.
Selanjutnya dari metode yang berbeda juga melahirkan perbedaan dalam penetapan awal Bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya perbedaan juga terjadi secara internal antara masing-masing metode.
METODE HISAB-RUKYAT MENURUT HUKUM ISLAM
1. Metode Rukyat
Pada masa Rasulullah Saw dan beberapa generasi sesudah beliau, penetapan awal bulan Qamariyah khususnya awal Ramadhan selalu didasarkan pada metode rukyat (ru’yatul hilãl), yaitu dengan melihat bulan sabit dengan mata telanjang.5 Hal ini dapat dilihat dari beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku dengar Rasulullah Saw bersabda : “Apabila kamu melihat dia (tanggal 1 Ramadhan), maka hendaklah kamu berpuasa; dan apabila kamu melihat dia, maka hendaklah kamu berbuka, tetapi manakala dimendungkan (hilãl) itu atas kamu, maka hendaklah kamu tetapkan untuknya”.
Hadits lain yang juga popular adalah : “summû li ru’yatihi wa aftharû li ru’yatihi” (berpuasalah kamu karena melihat hilãl dan berbukalah kamu karena melihatnya). Menurut al-Kahlani, sebagaimana dikutip Summa, hadits ini jelas-jelas menunjukkan atas kewajiban puasa Ramadhan
karena melihat hilãl (bulan sabit) Ramadhan dan berbuka puasa juga karena
melihat hilãl.6
Ru’yatul hilãl ini adalah merupakan maksud lain dari kata syuhudussyahri
(meyakinkan bulan) sebagaimana pendapat para ulama seperti Musthafa al-Maraghi, Wahbah az-Zuhaili dan Sayyid Sabiq. Menurut mereka ru’yatul hilãl dapat langsung dengan mata telanjang, atau dengan bantuan alat peneropong.
Untuk memahami hadits-hadits yang terdapat kata ru’yah tidak hanya dengan melihat makna teks tersebut secara literal, tetapi juga dengan melihat setting sosial ketika hadits itu muncul (asbãb al-wurûd). Secara tekstual, arti ru’yah menurut Ibnu Sayyidah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Manzhur dalam Lisãn al-Arabi adalah :”melihat dengan mata atau hati” (an-nazharu bil ‘ain wa al-qalb). Di samping itu juga ada yang berpendapat bahwa rukyat tidak semata-mata melihat dengan mata tetapi dapat juga berarti melihat dengan ilmu (rasio) melalui hasil perhitungan ilmu hisab.
Dalam konteks historitas, pada kasus hadits rukyat terlihat adanya upaya Rasulullah Saw untuk memahami bahasa masyarakat Madinah. Seperti dalam hadits : “idza raitum al-hilãl” adalah didahului munculnya pertanyaan yang ditujukan kepada Rasulullah Saw berkaitan dengan perselisihan antara dua kelompok dalam menentukan bulan, di mana kelompok pertama mengangap bulan Sya’ban dan kelompok yang lain mengangap bulan Ramadhan. Respons yang diberikan Rasulullah Saw adalah : “idza raitum al-hilãl”.
Persoalan yang muncul pada hadits di atas bukan terletak pada rukyat tetapi lebih mengarah pada proses penentuan awal bulan Qamariyah.
Dalam setting masyarakat Madinah di mana hadits-hadits tentang rukyat muncul di Madinah,10 dan rukyat dalam pengertian melihat dengan mata telanjang cocok dengan masyarakat Madinah. Tetapi dalam setting masyarakat Mekkah, maka rukyat dengan pengertian melihat dengan mata
telanjang tidak cocok dengan kondisi masyarakat Mekkah yang sudah mengenal ilmu pengetahuan antara lain dalam bidang astronomi.
Dengan menggunakan teori al-ibratu bi umumi al-lafzhi la bi hususi as-sababi dan al-ibratu bi hususi as-sababi la bi umumi al-lafdzi, maka didapatkan dua macam pengertian rukyat. Dengan menggunakan teori pertama, rukyat tidak hanya dipahami dalam konteks masyarakat Madinah
tetapi juga dalam konteks masyarakat Mekkah, sehingga rukyat tidak semata-mata melihat engan mata telanjang. Sedangkan dengan teori kedua menjadikan makna rukyat menurut setting masyarakat Madinah an sich, sehingga rukyat berarti melihat dengan mata telanjang.
Ru’yatul hilãl adalah metode praktis untuk membuktikan apakah bulan sabit baru (hilãl) terlihat atau tidak. Jika dalam astronomi objek langit yang biasa dirukyat dianjurkan di atas sudut 15 derajat, maka ru’yatul hilãldilakukan saat irtifa’ bulan masih sangat rendah, dan dilakukan setiap
tanggal 29 Sya’ban atau Ramadhan tanpa melihat sudah ijtima’ atau belum.13
Kriteria imkān ar- ru’yah setiap negara-negara Islam berbeda-beda.
Khusus di Indonesia, kriteria yang digunakan dan disepakati adalah criteria yang berdasarkan kesepakatan MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang melahirkan tiga kesepakatan, yaitu : (1) tinggi bulan minimum 2 derajat; (2) jarak bulanmatahari minimum 3 derajat; dan (3) umur bulan saat maghrib minimum 8 jam.
Di samping aspek perbedaan kriteria imkãnur ru’yat yang bisa menyebabkan perbedaan, maka aspek lain yang menjadi sumber perbedaan adalah kesaksian, keberlakuan hasil rukyat dalam wilayah geografis (mathla’).
2. Metode Hisab
Hisab atau ilmu hisab merupakan padanan dari ilmu falak yakni salah satu cabang ilmu astronomi terapan yang membahas penentuan waktu ibadah dengan cara menghitung posisi matahari dan bulan terhadap bumi.
Penentuan awal bulan dan awal tahun dengan menggunakan ilmu hisab adalah sebagai alternatif dalam penentuan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah.
Ada dua metode hisab yang lazim digunakan, yaitu hisab urfi dan hisab hakiki. Hisab urfi berasal dari penyimpulan rata-rata lamanya umur bulan Qamariyah. Metode ini menentukan umur bulan-bulan ganjil 30 hari dan umur-umur bulan genap 29 hari. Sedangkan hisab hakiki, menentukan
bahwa bulan baru dipastikan masuk bila pada waktu maghrib hilãldiperhitungkan berada di atas ufuk.
Penggunaan hilãl sebagai patokan untuk setiap datangnya awal bulan, didasarkan pada Q.S. al-Baqaroh (2);189, yang berbunyi :
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji………
Syekh Muhammad Rasyid Ridho dalam tafsirnya al-manãr,
sebagaimana dikutip Syah, menjelaskan asbabun nuzul ayat di atas sebagai
berikut:
Terjemahannya : Dan dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dan Ibnu Assakir dari jalan As-Sudiy ash Shoghier dari al-Kalby dari Abu Sholih dari Ibnu Abbas bahwa sahabat Muadz binn Jabal dan
Tsa’labah bin Ghoniemah bertanya : “Wahai Rasulullah ada apa dengan hilãl itu, ia muncul (pertama kali) tipis sekali seperti garis lalu membesar hingga besar, separuhnya dan bundar kemudian tidak berhenti (sampai di situ) ia menyusut dan menepis hingga kembali kepada bentuk semula, (mengapa) tidak dalam satu bentuk saja?”.
Lalu turunlah ayat ini. (Syekh Muhammad Rasyid Ridho) menerangkan):”Sungguh telah masyhur sebab turunnya ayat ini karena Ulama Balaghoh menempatkannya dalam permasalahan ada dan tidak adanya kesesuaian antara pertanyaan dan jawaban.
Mereka berpendapat bahwa yang diinginkan oleh penanya adalah penjelasan sebab-sebab perubahan bentuk yang biasa terjadi (pada hilãl), namun jawaban hadir tiada lain menerangkan hikmahnya bukanlah menjelaskan illatnya (peristiwa astronomis pen.), karena hal inilah yang menjadi objek agama. Cocok sekali apa yang disebut dalam ilmu Balaghoh dengan uslubul hakiem atau uslubul al-hakiem.
Secara astronomis hilãl (crescent) adalah penampakan bulan paling kecil yang menghadap ke bumi. Keadaan tersebut dapat dicapai beberapa saat di sekitar ijtima’ karena pada saat itu sudut pandang matahari dan bulan paling kecil.
T.Jamaluddin mendefinisikan hilãl sebagai berikut :
Hilal adalah bulan Tsabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemrosesan citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan yang mengarah ke matahari.
Dari beberapa pengertian di atas tentang hilãl, maka hakekat dari awal bulan baru atau awal bulan Qamariyah adalah wujûd al-hilãl yang dapat diketahui dengan rukyah dan hisab atau keduanya sekaligus. Oleh karenanya rukyah dan atau hisab itulah yang menjadi dasar untuk
menetapkan awal bulan Qamariyah.
Berbagai kriteria untuk menentukan masuknya bulan baru Qamariyah mulai berkembang, dan perkembangannya ini juga melahirkan perbedaan internal dalam metode hisab, seperti perbedaan tentang ijtima’(konjungsi) di mana ada yang berpandangan dengan sistem ijtima’ qabla alghurūb
dan ada yang memakai dengan sistem ijtima’ qabla al-fajr. Begitu juga perbedaan tentang ketinggian hilãl yang dikaitkan dengan umur bulan,yakni tenggang waktu antara terbenam matahari dan saat terjadinya ijtima’.20 Bahkan konsep wujûd al-hilãl mengalami perkembangan yang semula pengertian wujûd al-hilãl adalah matahari terbenam lebih dahulu dari pada bulan dengan standart ukuran yang dijadikan pembatas adalah ufuk mar’i. Kemudian muncul pengertian bahwa wujûd al-hilãl itu apabila pada saat matahari terbenam, bulan berada pada posisi di atas ufuk hakiki.
METODE PENETAPAN AWAL PUASA DAN HARI RAYA DI
INDONESIA
1. Menurut Ormas Islam
1.1. Nahdhatul Ulama (NU)
Dalam menentukan awal bulan Qamariyah yang ada hubungannya dengan ibadah, Nahdhatul Ulama berpegang pada beberapa hadits21 yang berhubungan dengan rukyat. Di samping hadits, Nahdhatul Ulama juga berpegang pada pendapat para ulama yaitu para Imam Mazhab selain
Hambali, di mana imam mazhab tersebut menyebutkan bahwa awal Ramadhan dan Syawwal ditetapkan berdasarkan ru’yah al-hilãl dan dengan istikmal.
Pendapat ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Imam Nawawi dalam Kitabnya al-majmu’ syarh al-Muhazzab, Ibn Hajr dalam Kitabnya Hawasiyy Tuhfah Muhtaj, dan Syekh Ramli dengan Kitabnya Nihayah al-Muhtaj. Penetapan ini diambil berdasarkan alasan-alasan syar’i
yang dipandang kuat untuk dijadikan pedoman peribadatan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Untuk melacak metode yang digunakan Nahdlatul Ulama dalam menentukan awal bulan Qamariyah, maka ada tiga fatwa yang berkaitan dengan metode rukyat yang digunakan organisasi ini. Fatwa pertama tahun 1954 sebagaimana dikutip Hooker berisi dua pernyataan; (a) menentukan waktu berdasarkan hisab tidak digunakan pada masa Nabi dan KhulafaurRasyidin; (2) tidak dibolehkan membuat pernyataan publik untuk menentukan awal puasa berdasarkan hisab tanpa adanya pengumuman dari Menteri Agama. Hal ini dilakukan “untuk mencegah keributan di kalangan umat Islam. Fatwa kedua tahun 1983, isinya juga berisi tidak ada kewajiban untuk menerima penentuan puasa dengan cara hisab.
Adapun fatwa ketiga yang dibuat pada tahun 1987 isinya lebih terperinci dan merujuk pada hasil fatwa tahun 1983. Berikut adalah ringkasan dari fatwa tersebut sebagaimana diringkas oleh Hooker
Melihat bulan (ru’yah) sebagai dasar untuk menetapkan tanggal puasa telah dilakukan oleh Nabi Muhammad dan Khulafa al-Rasyidin dan dilakukan oleh empat mazhab. Sementara itu penghitungan berdasarkan ilmu falak tidak pernah diajarkan oleh Nabi dan kesahihannya ditentang para ulama. Pernyataan public tentang penanggalan puasa berdasarkan penghitungan ilmu falak oleh hakim atau gubernur tidak ditegaskan oleh keempat mazhab.NU adalah organisasi yang mengikuti jalan dan ajaran Nabi, para sahbat dan ulama. Musyawarah Nasional Alim Ulama (18-21Desember 1983) telah membuat sebuah keputusan untuk mengikuti
metode melihat bulan guna menetapkan awal Ramadhan dan Idul Fitri yang disahkan oleh Muktamar NU ke 27 (1984). Dan agar ada keseragaman di kalangan warga NU, dan dengan tujuan termasuk menetapkan Idul Adha, Musyawarah Nasional Alim-Ulama pada 15-16 Nopember 1987 memutuskan sebagai berikut:
Penanggalan yang diumumkan oleh hakim atau gubernur boleh dikukuhkan jika didasarkan pada metode melihat Bulan. NU telah lama mengikuti pendapat para ulama bahwa satu penanggalan yang pasti harus ditetapkan untuk Indonesia dengan mengabaikan
perbedaan aspek bulan di seluruh negeri. Melaksanakan ru’yah merupakan kewajiban agama dalam pandangan empat imam mazhab kecuali Hanbali yang mengangapnya bermamfaat saja.
Pelaksanaan ru’yah oleh pemerintah sudah cukup bagi seluruh masyarakat muslim di Indonesia. Komisi Hisab dan Ru’yah dalam NU harus melaksanakan prinsip ru’yah dengan menentukan awal bulan Sya’ban, awal ramadhan dan melakukan ru’yah pada malam 30 Syawal dan 30 Dzulqa’idah kemudian melaporkan penemuannya tentang awal “Dzulhijjah” kepada pemerintah
karena pemerintah sering tidak memberikan pengumuman yang terperinci mengenai tanggal tersebut. Hasilnya harus disebarluaskan NU wilayah dan cabang di seluruh Indonesia.
Semua warga NU di segala lapisan harus diinstruksikan untuk meneliti siaran pemerintah mengenai tanggal tersebut, jika penanggalan itu didasarkan pada ru’yah, harus diikuti, tetapi jika berdasarkan hisab, bisa diabaikan, dan tanggal yang benar adalah hari setelah disebarluaskannya pengumuman tersebut. Pendekatan ini sesuai dengan keputusan NU sebelumnya dan UUD 1945 (Pasal 29 [2]).
Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah didasarkan pada ru’yatul hilãl dan istikmal. Meskipun hisab tidak pernah dipraktekkan pada pada masa Nabi Muhammad Saw dan Khulafaur-Rasyidin, tetapi hisab yang dilakukan para ahlinya boleh diikuti bagi yang mempercayai perhitungannya.
Rukyah yang dijadikan dasar adalah hasil rukyah di Indonesia dan berlaku seluruh Indonesia (wilãyatul hukmi), sehingga jika di salah satu bagian dari wilayah Indonesia dapat disaksikan hilãl, maka ulûl amr dapat menetapkan awal bulan berdasarkan rukyah yang berlaku seluruh
Indonesia. Penetapan yang dilakukan pemerintah dengan tidak memakai rukyah, maka yang dipakai adalah rukyat yang dilakukan masyarakat, khususnya warga NU.
1.1. Muhammadiyah
Dalam menetapkan awal dan akhir bulan qamariyah yang ada pelaksanaannya dengan ibadah, Muhammadiyah mendasarkan pendapatnya pada beberapa ayat al-Qur’ãn dan hadits-hadits Nabi Saw. Ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar adalah Q.S.Yunus(10);5, dan al-Baqaroh (2);185,27
sedang hadits-hadits yang digunakan antara lain yang diriwayatkan imam Bukhari dan Muslim yaitu : lã tashûmû hatta tarawu al-hilãl wa lã tufthirû hatta tarawhu fain ghumma ‘alaikum faqdlurûlah (janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka sehingga kamu melihat hilãl. Bila hilãl tertutup awan maka kamu perkirakanlah (kadarkanalah).
Adapun kata ru’yah sebagaimana yang terdapat dalam hadits riwayat imam Bukhari : “shûmû liru’yatihi wa afthirû liru’yatihi”:
(Puasalah karena melihat tanggal atau berbukalah karena melihat tanggal), dipahami dengan akal, sehingga rukyat bisa berarti melihat dengan mata telanjang, dan bisa juga melihat dengan akal (ilmu pengetahuan).
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan :”as-saumu waal-fithru bi ar-ru’yah wa lã mãni’a bi al-hisãb” (berpuasa dan id Fitrah itu dengan ru’yah dan tidak berhalangan dengan hisab).30 Sejalan dengan itu, menurut Djarnawi Hadikusuma, sebagaimana dikutip dalam Suara
Muhammadiyah, bahwa teks tersebut secara implisit mengakui hisabrukyat.
Menurut Basith Wahid, pada awalnya Muhammadiyah menggunakan ru’yah bil fi’li dalam penentual awal bulan Qamariyah.
Muhammadiyah juga memakai rukyat jika antara hasil rukyat berbeda dengan hasil hisab. Hal ini dapat dilihat pada Himpunan Putusan majelis Tarjih yang berbunyi :”apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu, manakah yang
mu’tabar. Majelis Tarjih memutuskan bahwa rukyalah yang mu’tabar.Keputusan di atas menegaskan bahwa apabila hasil perhitungan hisab menyebutkan hilal belum wujud, atau sudah wujud tetapi tidak dirukyat, maka yang dijadikan pedoman adalah hasil rukyat. Pandangan ini
dipegang oleh Muhammadiyah sampai pada Munas tarjih ke-25 tahun 2000 yang menegaskan bahwa rukyat dan hisab sama kedudukannya sebagai dasar untuk menentukan awal bulan Qamariyah.
Kedudukan hisab sama dengan rukyat diperkuat kembali dalam keputusan Munas tarjih ke-26 tahun 2003 dengan disertai dalil al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw.
Sejalan dengan perkembangan ilmu astronomi, Muhammadiyah mulai menggunakan hisab yang pada awalnya dipelopori oleh KH.Siraj Dahlan. Mula-mula metode hisab yang digunakan untuk menentukan awal bulan Qamariyah dengan sistem ijtima’ qablal ghurûb, yaitu ketika hari itu
terjadi ijtima’(bulan mati), maka waktu sesudah terbenamnya matahari adalah awal bulan meskipun hilãl tidak wujud pada saat matahari tenggelam. Paham ini digunakan hingga tahun 1387 Hijriyyah.
Dalam perkembangan selanjutnya sistem ijtima’ qabla al-ghurûbdisempurnakan dan melahirkan sistem wujûd al-hilãl, yaitu wujud hilãl sebelum matahari terbenam. Maksudnya bila pada hari terjadinya ijtima’matahari terbenam lebih dahulu dari bulan, maka senja itu dan esoknya ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan baru Qamariyah. Tetapi bila bulan terbenam lebih dahulu dari matahari, maka senja itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai malam terakhir dari bulan Qamariyah yang sedang berlangsung.37 Karenanya menurut Basith Wahid, bahwa wujûd alhilãl
mengandung pengertian : (1) sudah terjadi ijtima’ qablal ghurûb, dan (2) posisi bulan sudah positif di atas ufuk mar’i.38
1.3. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Dalam fatwa39 Majelis Ulama Indonesia disebutkan bahwapenentuan awal Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyat dan hisab. Fatwa tersebut tidak hanya berisi tentang metode penetapan awal bulan Qamariyah, tetapi juga tentang anjuran untuk mengikuti keputusan pemerintah dalam penentuan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah.
Fatwa tersebut berisi empat butir, yaitu : (a) penetapan awal bulan dengan metode rukyat dan hisab, (b) pemerintah Indonesia mempunyai otoritas dalam penentuan awal bulan Qamariyah, (c) pelaksanaan ibadah haji berdasarkan hasil rukyat dan hisab di Indonesia, dan (d) kewajiban
umat Islam untuk menaati ketetapan pemerintah tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah.
Dalil yang digunakan dalam fatwa-fatwa tersebut bersumber dari al-Qur’ãn, hadits, kaedah fiqh dan pendapat Imam. Dua dari tiga hadits yang dijadikan sumber fatwa berkaitan dengan metode penetapan awal bulan Qamariyah, sedangkan hadits yang satunya menjadi dasar untuk taat kepada pemerintah. Hadits terakhir yang disebutkan di atas diriwayatkan oleh Bukhari dari Irbadh bin Sariyah yaitu : “alaikum bi al-sam’i wa ‘ath-thô’ati wa in wa lã ‘alaikum ‘abdun habsyiyyun” (Wajib bagi kalaian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi).
Satu-satunya ayat al-Qur’ãn yang dijadikan dalil dalam fatwa MUI tersebut adalah Q.S. an-Nisã(4);59 yang kandungannya bukan tentang konsep hisab-rukyat, tetapi tentang kewajiban taat kepada Allah, RasulNya, dan ulû al-amr. Ayat ini diperkuat lagi dengan kaedah fiqh :”hukmu al
hãkim ilzãmu wa yarfa’u al-khilãf” (Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat).
2. Menurut Pemerintah
Di Indonesia penetapan awal bulan Qamariyah secara resmi dilakukan oleh Menteri Agama dalam sidang Itsbat yang dihadiri berbagai utusan Ormas Islam. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk penetapan awal bulan Qamariyah selain Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah
dilakukan berdasarkan metode hisab. Sedangkan untuk awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode hisab-rukyat.
Peran hasil hisab sangat besar pengaruhnya terhadap laporan rukyat. Jika semua sistem hisab sepakat hilãl masih di bawah ufuk, maka selalu hilãl dilaporkan tidak terlihat, dan begitu juga sebaliknya jika semua system hisab sepakat menyatakan hilãl sudah di atas ufuk, maka hampir selalu hilãl dilaporkan terlihat. Adapun jika ahli hisab tidak sepakat, sebagian menyatakan hilãl di atas ufuk, sebagian lainnya menyatakan hilãl di bawah ufuk, maka seringkali hilãl dilaporkan terlihat.
Proses penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah dimulai dengan data yang ada pada Badan Hisab Rukyat baik di Pusat maupun di Daerah, kemudian Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia melaksanakan rukyat dengan mengundang unsur-unsur dari ulama, ormas Islam, Perguruan Tinggi, Badan Metreologi dan Geofisika (BMG), Instansi terkait, dan para ahli. Hasil rukyat tersebut kemudian dilaporkan kepada Menteri Agama untuk selanjutnya dibawa dan dibahas dalam sidang Itsbat yang dihadiri berbagai unsur ormas Islam. Pada sidang Itsbat itu diputuskan hasil penetapan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah yang selanjutnya Menteri Agama mengumumkan secara terbuka kepada seluruh masyarakat Muslim Indonesia.
Kriteria imkãnur ru’yat yang dipakai oleh pemerintah adalah criteria yang disepakati bersama MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yaitu : (1) tinggi bulan minimum 2 derajat, (2) jarak bulan-matahari minimum 3 derajat, dan (3)
umur bulan saat maghrib minimum 8 jam.
Oleh karenanya, bila ada laporan rukyat tetapi menurut ahli hisab ulan masih di bawah ufuk, maka laporan itu ditolak seperti yang terjadipada penetapan Idul Fitri 1413 H/1993M. Atau meskipun bulan telah di atasufuk, tetapi karena belum memenuhi kriteria imkãnur ru’yah, maka hasilrukyat ditolak, seperti dalam siding Itsbat penetapan Idul Fitri tahun 1418
H/1998 M.
PENUTUP
Penetapan awal puasa dan hari raya dengan menggunakan metode hisab dan rukyat adalah merupakan produk hukum dari para ulama atau mujtahid. Sebagai sebuah produk hukum ia menjadi pedoman bagi umat Islam dalam melaksanakannya berdasarkan keyakinan masing-masing.
Dengan dasar keyakinan yang dimiliki, maka setiap orang mempunyai kebebasan dalam melaksanakan ibadah puasa dan hari raya baik pelaksanaannya itu merujuk pada hasil hisab ataupun rukyat.
Pemerintah dalam hal ini Menteri Agama mempunyai wewenang dalam menetapkan awal puasa dan hari raya, Dan dalam rangka ketertiban pelaksanaan ibadah dengan merujuk pada kemaslahatan ummat berdasarkan pada kaedah fiqh : tasharruf al-imãm manûthun bil maslahãh (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat), maka sewajarnyalah ummat Islam mematuhi keputusan Pemerintah dalam pelaksanaan awal puasa dan hari raya.
Baca lebih lanjut
Langganan:
Postingan (Atom)